tukangtranslate

Archive for August, 2008|Monthly archive page

Cara kamus dan penggunanya

In Cara kamus dan penggunanya on August 21, 2008 at 7:27 pm

Cara Kamus dan Pengggunanya Menyikapi Perkembangan Pesat Bahasa Indonesia: pengamatan dan pengalaman pribadi

Oleh: Sofia Mansoor, disampaikan dalam Diskusi “Bahasa Slang dan Bahasa Gaul dalam Dinamika Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing”, Jakarta 4 Agustus 2005, dalam acara peluncuran kamus Indonesia-Inggris karya Alan M. Stevens dan A. Ed. Schmidgall-Tellings

Pengantar

Saya rasa semua orang sependapat bahwa Bahasa Indonesia – selanjutnya ditulis BI – berkembang amat pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Misalnya, banyak teman yang bermukim di mancanegara merasa kewalahan mengikuti perkembangan BI ini, khususnya ketika mereka membaca berbagai artikel dalam media online. Ketika kembali ke tanah air pun mereka sering mengeluhkan banyaknya kata “baru” yang tidak mereka pahami ketika membaca media cetak berbahasa Indonesia.

Salah satu profesi yang sangat berkepentingan dengan perkembangan BI yang pesat ini adalah penerjemah yang salah satu bahasanya BI. Di milis Bahtera, misalnya, yakni milis yang diperuntukkan bagi penerjemah yang salah satu bahasanya BI, jumlah posting yang masuk setiap hari mencapai 30-50 pucuk, kebanyakan menanyakan padanan kata atau istilah yang mereka jumpai dalam pekerjaan yang tengah mereka hadapi.

Salah satu topik yang mendadak naik daun di Bahtera beberapa pekan terakhir ini adalah munculnya Kamus Lengkap Indonesia-Inggris karya salah seorang Bahterawan, Alan M. Stevens, bersama rekannya A. Ed. Schmidgall-Tellings – untuk memudahkan, disebut kamus Alan dalam uraian ini – yang diluncurkan pada acara hari ini. Dipicu oleh pembicaraan mengenai kamus inilah kemudian mulai muncul diskusi tentang penggunaan sejumlah kamus lainnya.

Fungsi kamus

Pada umumnya, orang mengenal kamus sebagai buku yang berisi kumpulan kata beserta artinya, baik itu kamus ekabahasa seperti KBBI maupun kamus dwibahasa seperti kamus Alan ini. Padahal, kamus bukan hanya berisi kumpulan kata dan artinya, meskipun memang harus diakui bahwa itulah kandungan utamanya. Berikut ini dikemukakan beberapa kegunaan lain dari kamus beserta sedikit contoh dan uraiannya.

a. Mencari arti kata

Banyak penerjemah yang mencari arti kata dengan langsung membuka kamus dwibahasa, padahal, berdasarkan pengalaman, cara ini kurang ampuh. Kita perlu mengetahui bahwa kamus dwibahasa pada umumnya adalah kamus umum sehingga isinya pun kata-kata “umum.” Jika kita, misalnya, ingin mencari arti kata stem cells, kita harus mencari artinya dalam kamus ekabahasa Inggris, bahkan mungkin kamus khusus yang berisi istilah dalam bidang yang bersangkutan, dalam hal ini kamus kedokteran atau biologi.

Mencari kata dalam kamus ekabahasa akan semakin terasa manfaatnya di saat kata yang dicari artinya itu memiliki banyak arti, misalnya kata expose, yang berbeda-beda maknanya dalam bidang fotografi dan bidang kedokteran, misalnya. Makna mana yang harus diambil? Kelengkapan makna dan penjelasannya ini terdapat dalam kamus ekabahasa dalam bahasa yang bersangkutan. Konteks akan sangat berperan dalam menentukan makna mana yang paling tepat. Mencarinya dalam kamus dwibahasa sering kali menghasilkan padanan yang keliru.

b. Memeriksa ejaan

Pada saat menulis, menyunting, atau menerjemahkan, saya sering harus membuka kamus, sekadar untuk memeriksa atau memastikan ejaan yang benar. Kata yang paling sering saya periksa ejannya antara lain adalah kata miscellaneous dan privilege. Saya sering sekali salah menuliskannya. Selain itu, mungkin karena sudah lebih dari 25 tahun bergelut dengan kata, saya sering cukup jeli ketika membaca kata yang ditulis dengan ejaan yang salah, misalnya dalam kain rentang atau spanduk di jalanan. Contoh yang paling “gres” adalah kata ALUMNY yang terpampang dalam iklan di salah satu harian Bandung. Yang menyedihkan, kata itu muncul dalam iklan yang berasal dari alma mater saya!

c. Memeriksa kata baku

Banyak juga penulis atau penerjemah yang bingung mengenai ejaan kata yang baku; apakah beaya atau biaya, nasihat atau nasehat, sekedar atau sekadar, kadaluarsa atau kadaluwarsa (ternyata menurut KBBI yang baku adalah kedaluwarsa). KBBI memang bisa dijadikan rujukan untuk memeriksa kebakuan suatu kata.

d. Mencari padanan kata

Beberapa pekan yang lalu, di salah satu forum online untuk para penerjemah, Proz.com, muncul pertanyaan manakah padanan yang tepat untuk kata flicker; apakah kerlip, berkelip, atau kelap-kelip. Di sini, si penanya sudah memahami makna kata flicker ini, namun masih ragu mengenai padanannya. Sebetulnya, jika dia memiliki KBBI, misalnya, dengan mudah dia dapat memeriksanya dalam entri kelip dan kerlip, yang memberikan beberapa kata yang dapat digunakannya, yakni berkelip, kelap-kelip, dan bekerlip.

e. Mencari kepanjangan singkatan dan akronim

Mungkin belum banyak yang tahu bahwa banyak juga kamus yang memuat kepanjangan singkatan atau akronim. Dalam KBBI, misalnya, kita bisa mengetahui kepanjangan BPKPN dan Babinkumnas, dua contoh singkatan dan akronim yang sering ditanyakan dalam milis Bahtera.

f. Mencari ejaan nama negara

Dalam suatu kesempatan, saya harus “menerjemahkan” nama sejumlah negara. Sebagai rujukan, saya menggunakan KBBI, dan tertegun ketika mendapati bahwa ejaan nama salah satu negara sempalan Chekoslowakia adalah… Cheska! Tadinya saya mengira nama negara ini Ceko!

Masih ada beberapa kegunaan lain kamus, misalnya arti marka ralat, kata dan ungkapan dalam bahasa daerah dan bahasa asing, daftar kesetaraan ukuran, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Perkembangan Bahasa Indonesia

a. Kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan

Dari pekerjaan saya sehari-hari sebagai penerjemah, dan dari obrolan dengan teman-teman seprofesi, saya mendapatkan kesan bahwa kamus ekabahasa (KBBI dan sejenisnya) maupun dwibahasa (Inggris-Indonesia, misalnya), termasuk para penggunanya, terengah-engah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan bahasa percakapan (baca: bahasa gaul dan bahasa slang) yang seakan berlari sekencang Carl Lewis, sementara kamus dan para pengguna BI ibaratnya berjalan selambat keong. Berikut ini saya kemukakan beberapa contohnya.

Kata surrogate mother sudah muncul sekitar dua dasawarsa yang lalu. Apakah BI sudah memiliki padanan yang pas untuk istilah baru dalam ilmu biologi atau kebidanan ini? Apakah padanannya ibu tumpangan, karena si ibu ditumpangi janin orang lain? Ataukah lebih tepat ibu pinjaman, karena rahimnya dipinjam untuk menumbuhkan janin hasil pembuahan telur wanita lain? Sampai sekarang masih belum ada satu kata yang digunakan secara “umum” oleh para penerjemah, dan setahu saya juga belum ada dalam kamus istilah kedokteran atau biologi.

Istilah lain yang mungkin perlu kita pertimbangkan kembali adalah istilah ibu kandung. Siapakah yang dinamakan ibu kandung di zaman sekarang ini? Apakah dia surrogate mother, ataukah biological mother?

Sementara itu, kata atau istilah baru yang terus bermunculan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan ternyata ada juga yang sudah muncul dalam KBBI maupun kamus istilah yang diterbitkan Pusat Bahasa. Contohnya antara lain kata pindai sebagai padanan kata scan; kata pajan, papar, dan dedah yang bersaing untuk dipadankan dengan kata expose. Kata payar yang sering digunakan oleh kalangan dokter adalah tawaran lainnya untuk kata scan, dan ini belum tercantum dalam KBBI.

Kata seperti spreadsheet, web hosting, online, upgrade, bahkan install dan uninstall di bidang komputer masih terus dicari padanannya yang “pas.”

b. Perkembangan bahasa gaul

Di Bahtera cukup banyak anggota yang menanyakan istilah yang sering didengarnya dalam sinetron remaja, yang sedang marak belakangan ini, atau yang dibacanya dalam majalah remaja. Jawaban yang datang pada umumnya berasal dari Bahterawan (sebutan untuk anggota milis ini) berusia “muda.” Bergaul dengan anak-anak muda ternyata dapat “memperkaya” kosakata.

Bagaimana kamus, misalnya KBBI, menyikapi perkembangan bahasa gaul ini? Kamus Alan memuat kata seperti nyokap, bokap, pembokat, mokal, gebetan, ember, dan tajir, sementara endang bambang, misalnya, yang baru muncul belum lama ini, belum ada. Tapi, semua kata ini ternyata tidak ada dalam KBBI, sementara kata seperti belik, belingut, cabir, dakaik tercantum, padahal boleh dikatakan tak seorang pun pengguna BI sekarang ini tahu apa artinya!

Sikap pengguna

Dari pengamatan selama sekitar 20an tahun bergaul dengan penulis, penyunting, dan penerjemah, saya menyaksikan sikap pengguna yang berlain-lainan dalam menyikapi perkembangan BI ini; ada yang sangat ekstrem dan teguh memegang pendapatnya, namun banyak juga yang bersikap “moderat,” bahkan ada yang menelan mentah-mentah pendapat orang lain.

a. Menggali kekayaan kosakata sendiri

Ketika membaca tulisan berbahasa Indonesia, sering saya menemukan kata yang tidak saya pahami artinya. Langkah pertama yang saya ambil biasanya membuka KBBI. Jika tidak tercantum dalam KBBI, barulah saya bertanya kepada penulisnya (kalau kenal dan mudah menghubunginya). Misalnya, dalam tulisan Bondan Winarno beberapa waktu yang lalu, saya menemukan kata gagrak arsitektur. Setelah ditanyakan ke penulisnya, ternyata gagrak adalah kata yang digali sendiri oleh si penulis untuk padanan genre. Konon kata ini berasal dari kosakata Jawa.

b. Mencipta atau merekayasa kata atau istilah baru

Sejumlah orang, biasanya ilmuwan atau penerjemah, sering memerlukan istilah untuk konsep tertentu. Contohnya, istilah nirkabel dan nirlaba yang memanfaatkan bubuhan “nir” yang menyatakan bentuk terikat bukan atau tidak. Ada juga yang mencoba memasarkan suratron (akronim dari surat elektronik) untuk padanan email, inderaja yang digunakan kalangan geologi dan geodesi untuk padanan remote sensing.

Memang, diperlukan waktu agar suatu istilah diterima dan digunakan oleh masyarakat. Bantuan penyebaran melalui media massa, majalah, buku terjemahan – dan sekarang Bahtera! – akan dapat mempercepat penerimaan (atau penolakan!) istilah yang dipasarkan itu. Contoh yang masih hangat adalah pemasaran istilah milis untuk mailing list yang tampaknya sudah diterima secara luas. Istilah perangkat lunak dan perangkat keras untuk software dan hardware, meskipun panjang, juga cukup cepat diterima pengguna, tapi istilah shareware masih mencari-cari padanan yang “pas.”

Berbagai kata dan istilah baru ini muncul dalam kamus, khususnya kamus istilah bidang yang bersangkutan. Namun, dalam KBBI pun, yang tergolong kamus umum, sudah tercantum entri perangkat dengan kata turunannya perangkat lunak dan perangkat keras, sebagaimana halnya sejumlah kata yang diawali dengan bubuhan nir seperti nirselera, nirwarta, nirguna. Jika kita membuka kamus Alan, ternyata kata-kata ini juga ada!

Menurut pengamatan saya, istilah atau kata bentukan “baru” seperti itu akan lebih mudah diterima pengguna jika mereka mudah menebak artinya. Misalnya kata-kata yang berawal dengan bubuhan nir ini cukup pesat pertumbuhannya. Saya pernah melihat seorang penjual semangka di tepi jalan yang mengiklankan jualannya sebagai “semangka nirbiji”!

c. Menyerap berdasarkan atau dengan mengabaikan pedoman EYD

Kita ketahui bahwa Pusat Bahasa sudah menerbitkan dan menyebarluaskan buku kecil Pedoman EYD dan Pedoman Pembentukan Istilah, namun tampaknya masyarakat pengguna masih belum paham sepenuhnya di saat mereka berhadapan dengan kata yang ingin diserapnya. Misalnya, bagaimana menyerap kata psychology? Saya amati kata ini cukup banyak ragam ejaannya – psykologi, psikology, psykology – padahal berdasarkan pedoman penyerapan kata asing, kata ini seharusnya diserap menjadi psikologi.

Memang, Pusat Bahasa menetapkan aturan bahwa BI menyerap kata asing sedekat mungkin dengan ejaan atau cara penulisannya dalam bahasa asalnya. Ini berbeda dengan kaidah penyerapan kata dalam Bahasa Melayu yang berpedoman pada lafal. Karena itulah terdapat perbedaan dalam kedua bahasa serumpun itu untuk sejumlah kata yang bermakna sama. Contohnya: pipe, pipa, paip; television, televisi, televisyen; agent, agen, ejen; taxi, taksi, teksi.

Kesulitan muncul ketika pengguna BI berhadapan dengan kata asing yang rumit ejaannya, misalnya spreadsheet, email, file, online, download. Bagaimana menyerap berbagai istilah ini jika kita berpedoman pada ejaannya? Ada sejumlah orang yang menyerapnya dengan tidak semena-mena menjadi spredsit, imil, fail, onlain, donlod. Saya sendiri sangat risi membaca kata serapan seperti ini! Bagi saya pribadi, jika belum menemukan padanan yang “pas,” lebih baik meminjamnya saja! Syukur alhamdulillah KBBI tidak memuat kata serapan macam ini. Atau apakah saya yang kurang jeli menyelisiknya?

Dengan kaidah penyerapan yang berpedoman pada ejaan ini, banyak kata asing (baca: Inggris) yang dengan mudah diserap dengan beranalogi pada kata lain. Contohnya adalah kata prediksi, eksibisi, edukasi. Masalahnya, apakah kita rela jika KBBI dipenuhi oleh kata-kata seperti ini? Bukankah dengan mudah kita bisa memadankannya dengan kata milik sendiri, yakni ramalan, pameran, dan pendidikan? Saya rasa, masalahnya di sini terletak pada kebanggaan atau ketidakbanggaan kita menggunakan kata sendiri.

Sikap penyusun dan penerbit kamus

Menyikapi perkembangan dan pertumbuhan kata dan istilah baru yang demikian pesat, tidak pelak lagi, penerbit dan penyusun kamus pastilah kewalahan. Apakah mereka perlu memasukkan semua kata baru itu dalam kamus terbitannya? Setebal apa kamusnya? Dan bagaimana menentukan harga jualnya?

Jika kamus itu berbentuk elektronik, mungkin pelaksanaan teknisnya tidak terlalu sulit. Bentuk cakram padat tampaknya bisa dijadikan pilihan. Namun, cakram padat amat mudah digandakan dengan biaya yang sangat rendah sehingga hantu pembajakan tentulah sangat mengerikan, baik bagi penerbit maupun penyusun kamus. Saya sendiri bukan penerbit sehingga tentulah tidak terlalu memikirkan hal ini. Bagi saya sebagai pengguna, semakin lengkap sebuah kamus, dan semakin mudah menggunakannya, tentu itulah yang dicari.

Cara lain adalah dengan menerbitkan kamus khusus, misalnya kamus istilah bidang tertentu, seperti yang sudah dilaksanakan Pusat Bahasa. Namun, berdasarkan pengamatan sekilas, kamus istilah yang banyak beredar dewasa ini sebetulnya lebih tepat dinamakan glosari karena isinya berupa penjelasan kata yang dijadikan entri, bukan padanan kata, padahal yang diperlukan pengguna, khususnya penerjemah, biasanya padanan kata suatu istilah asing. Perlu disayangkan pula bahwa berbagai kamus istilah yang diterbitkan Pusat Bahasa amat sulit dicari di toko buku, padahal peminatnya pastilah membludak (ada dalam kamus Alan!)

Cara lain lagi adalah dengan menerbitkan kamus praktis, yang hanya memuat kata-kata yang sering digunakan. Katakanlah kamus yang berisi lima puluh ribu atau seratus ribu kata yang paling sering muncul di media massa. Kata stem cells dan clone, yang meskipun merupakan istilah ilmiah, tapi sering muncul di media massa. Menurut saya, kata semacam ini sepatutnya muncul juga dalam kamus umum semacam KBBI agar para pembaca media bisa mencari artinya di situ, tanpa harus membuka kamus istilah.

Kamus jenis mana pun yang disusun dan diterbitkan, pastilah akan disambut gembira oleh para penggunanya, khususnya para penerjemah. Bahkan di milis Bahtera telah berulang kali dimunculkan perlunya tesaurus BI. Rupanya berbagai kamus yang beredar saat ini masih belum memenuhi kebutuhan mereka.

Penutup

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa para pengguna kamus di lapangan (baca: penerjemah khususnya, serta penulis dan penyunting pada umumnya) masih belum banyak terbantu oleh keberadaan berbagai kamus yang beredar sekarang ini. Berbagai konsep baru yang terus bermunculan dalam berbagai bidang ilmu masih belum ada padanannya dalam berbagai kamus istilah, baik yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa maupun penerbit lain. Hal ini tampak dari jenis pertanyaan yang terus bermunculan di milis Bahtera dan forum penerjemah semacam Proz.com, yang menunjukkan bahwa sering sekali masalah yang dihadapi para penerjemah ini tidak terpecahkan oleh kamus. Seperti yang saya kemukakan di atas, kamus istilah yang banyak beredar pada umumnya lebih cenderung menerangkan istilah atau konsep dalam bahasa asing, bukan menawarkan padanan dalam bahasa Indonesia.

Apalagi dengan semakin pendeknya jarak antartempat di dunia ini serta semakin eratnya komunikasi di antara para pengguna bahasa berkat adanya internet, semakin besar pula peranan para penerjemah dalam menyediakan dokumen dalam bahasa setempat. Perkembangan kosakata asing yang demikian pesat yang harus dihadapi para penerjemah haruslah disikapi dengan bijak, baik oleh para penerjemah itu sendiri, dan terutama oleh para penyusun dan penerbit kamus. Sikap mana yang hendak diambil, menggali dari kekayaan bahasa sendiri yang selama ini terpendam dalam KBBI, sementara pengguna berteriak-teriak betapa miskinnya bahasa Indonesia? Atau menciptakan padanan sendiri, lalu menawarkannya kepada masyarakat, dan ditampung dalam kamus? Atau sekadar menyerap dan memperkaya KBBI dan kamus sejenis dengan kata serapan yang kadang “menggelikan” ejaannya?

Kegiatan penerjemahan memang tidak bisa dilepaskan dari peranan kamus sebagai salah satu alat bantu penerjemah. Karena itulah, upaya Alan M. Stevens bersama rekannya A. Ed. Schmidgall-Tellings yang berusaha merangkul perkembangan bahasa yang hidup dalam masyarakat patut diacungi jempol. Mana ada kamus dwibahasa yang salah satu bahasanya memuat “awalan” dan “akhiran” yang hidup dalam masyarakat, padahal “menyalahi” tatabahasa? Coba lihat, dengan jelinya kamus Alan memuat bentuk-bentuk yang tidak baku, namun sering digunakan oleh masyarakat, seperti awalan ng– dan kombinasinya dengan akhiran –in (ngadak-ngadak, ngapain) dan nge– (ngebul, ngebut, ngegongin). Kumpulan bentuk yang tidak baku ini terdapat dalam tabel di bagian awal kamus, yang mengupas cara menggunakan kamus tersebut.

Jelaslah bahwa kamus ini disusun dengan berkiblat pada kebutuhan penggunanya. Pengakuan Alan bahwa dia mendapatkan banyak masukan dari anggota milis Bahtera menunjukkan betapa Alan sangat memperhatikan para pengguna ini. Suatu sikap yang amat bijak! Dengan sikap seperti ini, kamus Alan pastilah akan semakin memperkaya khazanah perkamusan kita, dan sangat membantu para penggunanya, khususnya para pengguna BI yang bukan penutur asli, selain juga para penutur asli BI yang menulis dalam bahasa Inggris.

Terima kasih pula perlu ditujukan kepada Mizan yang telah menyediakan kamus ini bagi para penggunanya di Indonesia, yang sekarang tidak usah jauh-jauh memesan lewat amazon.com dan membayar dalam USD. Apalagi harga jualnya di Indonesia sangat memperhatikan daya beli penggunanya!

Bandung, 2 Agustus 2005

Sofia Mansoor

sofia@melsa.net.id

http://sofiamansoor.com

Rules with client

In rules with client on August 21, 2008 at 7:20 pm

Article By:

Werner George Patels

http://www.german-english.biz

TranslatorsCafe.com http://www.translatorscafe.com/

Reprinted with Permission

———————————————————————–

17 Rules for Dealing with Agencies and Direct Clients

Here are a few tips (based on personal experience and accounts of colleagues):

1. Always get your client to sign a Purchase Order.

2. If the agency requires you to sign a contract for subcontractors, read it carefully. If there is only the slightest doubt in your mind, don’t sign it.

3. “Contract Law 101”: your contract with the agency is different from and independent of the contract the agency has with its client. Some agencies always try to download the financial risk on to their translators by telling them that they will get paid as soon as they have been paid by their client. WRONG. This would go against the fundamental principles of contract law. As I said, your contract is different from theirs; even if their client never pays them (for whatever reason), they will still have to pay you on time. Recently, I heard of an agency that includes a clause in its contract (“fine print”) that says that translators will be paid if and when they have received payment from their client. Do not sign an agreement like that – it is ILLEGAL (in most jurisdictions)!

4. “Train” your clients: explain to them, in simple language if necessary, what translation is all about. Do not accept any unrealistic demands from them (eg, 5,000 words within 24 hours).

5. Be strict about your terms of payment: upon initial contact with the agency (or direct client), explain your terms to them. Be polite, yet firm. Inform them that they will be subject to late-payment interest if they don’t pay within the period of time stipulated. Draw up (or have them draw up) an agreement stating your terms of payment very clearly and get the agency to sign it. If they refuse, don’t bother – it is a clear sign that this particular agency is not trustworthy and you would not want to work for someone like that anyway.

6. Sometimes, an agency may tell you that they cannot pay you on time because of cashflow problems – that is, after you have already sent them several reminders for payment. ALARM BELLS! This means: a) they have lousy clients themselves that don’t pay them (which is not exactly a ringing endorsement of the agency and its business practices); b) their management is really sloppy; c) they are not professional; AND d) things can only go downhill from there ==> so stop accepting any new jobs from them; tell them that you may consider working for them again if and when you have been paid and if and when they have set their house in order.

7. If you do get into trouble with an agency, again, be firm.

8. Avoid any agencies that post jobs on the Internet but fail to give detailed background information on themselves (phone number, mailing address, etc.).

9. Avoid clients that use free e-mail accounts such as Hotmail or Yahoo – if an agency uses such accounts, you can rest assured that they are not legit and professional

10. Avoid agencies that require an excessive number of words to be translated by way of a “test” – it could be a way for them to have a document translated for free. Remember: standard translation tests should not exceed 200-250 words.

11. Regarding tests: even if the sample is only 200-250 words in length, make sure it is a self-contained text; otherwise, it might be that they are sending out small portions of a larger text to a number of translators as “tests” – again, for the purposes of getting the translation for free.

12. Beware of UNSOLICITED e-mails you receive from agencies (“we have recently come across your name and would like to invite you to join our team of translators. Please send us your CV, rates, client list, etc.”) – this is often a trick to “scan” the competition (they want to know who your clients are), so if you provide them with 2 or 3 professional references, they will contact them, not to verify your work, but to solicit business from your clients!

13. Regarding references: never, under any circumstances, give out references. Giving out 2 or 3 references is common practice when applying for a permanent position, but as freelancers we cannot do that: we are legally and ethically bound to keep any and all information regarding our clients confidential. Therefore, suggest to the agency that they could send you either a 200-word test or a small job for which they would have to pay you a minimum fee (“the proof of the pudding is in the eating”). This way, the agency does not take on too much risk and you would not have to breach your clients’ confidentiality. Remember: when you see a new doctor, you cannot ask the doctor for his/her patient list either!!!

14. It is always better to forgo a potential job (in case of any doubt about the client) than to go through the hassle and headaches of chasing after your money later on.

15. Stay away from “telemarketers”: if you phone the agency, and you get a person who talks as fast as a telemarketer or used-car salesperson and does the whole “salespitch dance” (even though that person may strike you as being very personable), be polite and end the conversation as quickly as possible.

16. For larger projects, charge a “retainer”, or down payment, of about 25%. Demand to be paid in various phases as the project moves along. Don’t beat about the bush: tell your client that you will still have to feed and clothe yourself for the duration of the project (e.g., 2 months). For example, 25% upfront, another 25% halfway through the project and the remainder upon completion of the project.

17. If a client asks you to acquire special software or any other product (as a requirement for receiving work), please check and double-check the facts before you agree to anything. In most cases, these people are not real clients, but merely “telemarketers” or scam artists trying to sell some useless software, product, etc. Remember: as a professional translator, you should never have to *PAY* your own clients …. that would be ridiculous and insane, wouldn’t it?

***

Meraup dolar …

In Meraup dolar on August 15, 2008 at 11:11 am

Meraup dolar melalui penerjemahan berbasis internet: pengalaman pribadi

Oleh: Sofia Mansoor, penerjemah profesional, ilovepeace@yahoo.com

Disampaikan pada acara Seminar Penerjemah dan Juru Bahasa: Aspek Kualitas dan Kewirausahaan, Jakarta 3 Juni 2006

Kehadiran internet membuat orang semakin mudah dan cepat berkomunikasi, baik secara tertulis maupun lisan, baik untuk kepentingan bisnis maupun pribadi. Komunikasi lewat email telah semakin menyisihkan komunikasi lewat surat. Kantor pos pun mau tak mau harus menyusun strategi baru agar bisa tetap survive.

Konsep SOHO (Small Office, Home Office) juga telah semakin populer, terutama di negara maju atau di kota besar di Indonesia. Karyawan tidak lagi perlu datang setiap hari ke kantor, melainkan cukup bekerja di rumah. Tatap muka dengan atasan atau rekan sejawat dilakukan secara berkala, misalnya seminggu sekali. Di dunia penerbitan, naskah tidak lagi perlu dikirimkan lewat pos yang bisa makan waktu berhari-hari, namun sudah dikirimkan dan diterima sebagai lampiran email, yang bisa melintas dalam hitungan detik atau menit atau jam saja. Jarak seakan sudah sangat kecil artinya.

Komunikasi lisan pun mengalami kemajuan pesat karena dewasa ini tersedia banyak sekali program komunikasi real time seperti Yahoo Messenger dan Skype. Pihak yang bercakap-cakap bisa melibatkan hanya dua pihak, namun bisa juga beramai-ramai seperti dalam konferensi. Suara pun bisa dilengkapi dengan tampilan visual melalui kamera yang dipasang sebagai bagian dari perangkat komputer.

Semakin banyak pula bidang pekerjaan baru yang bermunculan seiring dengan perkembangan internet ini. Dulu, untuk mendapatkan uang saku, anak perempuan di negeri Paman Sam bekerja sambilan menjadi penjaga anak kecil, sementara anak lelaki bekerja memotong rumput. Sekarang, menurut buku Growing Up Digital (1998), kedua macam pekerjaan klasik tersebut sudah tersaingi oleh pekerjaan modern seperti membuatkan situs web untuk perusahaan ataupun situs web pribadi untuk orang tua mereka!

Salah satu bidang usaha baru ini adalah bidang usaha penerjemahan dengan memanfaatkan internet. Komunikasi di sini dilakukan tanpa bertatap muka dengan pihak pemberi pekerjaan. Demikian pula dengan pengiriman kontrak kerja, bahan kerja, dan hasil kerja, yang semuanya dilakukan melalui internet. Penerjemah bisa melakukan pekerjaannya di mana saja asal ada koneksi ke internet. Akibatnya, tanpa memiliki izin kerja pun, penerjemah bisa saja dengan bebas melakukan pekerjaan sewaktu dia sedang berada di negara lain yang sebetulnya mengharuskannya memiliki izin kerja seperti green card di Amerika Serikat!

Dalam perbincangan kali ini, saya ingin berbagi pengalaman dalam bidang usaha penerjemahan, yang telah saya tekuni selama lebih dari 25 tahun, dan yang selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini saya lakukan dengan memanfaatkan internet.

Syarat penerjemah yang baik

Sebagaimana bidang usaha lain, pekerjaan penerjemahan pun memerlukan sejumlah syarat agar bisa sukses. Karena bidang usaha ini termasuk bidang jasa, si pemberi jasalah yang merupakan modal utamanya. Seorang penerjemah (yang menerjemahkan ke bahasa Indonesia) harus menguasai bahasa Indonesia dengan sangat baik, baik ragam tulis maupun lisan. Hal ini tentu masuk akal karena tugasnya adalah mengalihbahasakan dokumen atau pesan ke dalam bahasa Indonesia. Syarat berikutnya adalah menguasai bahasa sumber dengan sangat baik, baik ragam tulis maupun lisan. Syarat ini juga masuk akal karena tanpa menguasai bahasa sumber dengan baik, mustahil seseorang bisa melakukan pekerjaan penerjemahan dengan hasil yang memuaskan.

Selanjutnya, tentu saja penerjemah harus mengenal dengan baik bahan yang akan diterjemahkan. Hal ini terutama penting untuk bidang yang sangat khusus – kedokteran, hukum, teknik, dan sebagainya. Saya mengenal sejumlah penerjemah berlatar belakang pendidikan bahasa yang menambah ilmunya terlebih dahulu sebelum berkecimpung dalam bidang terjemahan yang ditekuninya, misalnya para penerjemah penuh-waktu yang bekerja di perusahaan pengeboran minyak atau pertambangan.

Dalam mengerjakan tugasnya, tak bisa disangkal bahwa penerjemah memerlukan sarana bantuan, dan tentu saja ia harus mengetahui cara mencari dan menggunakan sumber bantuan tersebut, misalnya cara menggunakan kamus (baik kamus tradisional maupun kamus online) dan sumber informasi di internet. Sumber bantuan lain yang juga besar manfaatnya adalah milis para penerjemah, antara lain Bahtera, yang saya dirikan bersama dua rekan saya sesama penerjemah pada Juli 1997. Anggota Bahtera saat ini sudah hampir mencapai 1000 orang, Padahal dua tahun setelah pendiriannya, Bahtera baru diawaki oleh puluhan orang saja. Sungguh peningkatan yang mencengangkan.

Yang juga diperlukan adalah keterampilan menggunakan beberapa program komputer “wajib” semacam Word, PowerPoint, Excel. Penggunaan program semacam Trados, DejaVu, Wordfast dll. membantu penerjemah membangun translation memory di komputernya untuk memudahkan penerjemahan dokumen yang selalu diperbarui, misalnya manual.

Yang terakhir, namun yang tidak kurang pentingnya, khususnya bagi penerjemah yang mendapatkan pekerjaannya lewat internet, adalah memiliki akses ke internet dengan kecepatan koneksi yang memadai. Hal ini diperlukan khususnya untuk men-download bahan kerja berukuran besar seperti film atau dokumen dalam format PowerPoint dan PDF.

Jenis penerjemahan

Secara umum ada dua jenis penerjemahan, yakni penerjemahan tulis dan penerjemahan lisan. Penerjemahan tulis mencakup penerjemahan buku dan bahan nonbuku seperti brosur, selipat (leaflet), iklan, dokumen saham, subtitle film, bahan pelatihan, artikel majalah, profil perusahaan, laporan tahunan, dokumen hukum, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sementara itu, penerjemahan lisan biasa dilakukan di gedung pengadilan, melalui sarana komunikasi lain (telepon, telekonferensi di internet, dll.), dan di ajang pertemuan formal dan nonformal seperti seminar dan rapat yang menggunakan multibahasa.

Pemberi pekerjaan terjemahan

Sebetulnya banyak sekali pihak yang memerlukan tenaga penerjemah. Untuk menerbitkan buku terjemahan tentu saja pemberi kerja adalah para penerbit di Indonesia, meskipun kadang ada juga penerbit di mancanegara. Dewasa ini semakin banyak penerbit Indonesia yang merambah bidang usaha penerjemahan ini, bukan hanya dari bahasa Inggris, tetapi juga dari bahasa lain seperti Arab (buku Islam) dan Jepang (komik).

Sementara itu, pemberi kerja yang paling umum untuk bahan nonbuku adalah biro penerjemahan, terutama di mancanegara. Semakin lama, semakin banyak biro penerjemahan yang memerlukan penerjemahan ke dan dari bahasa Indonesia. Di komputer saya saja tercatat lebih dari 50 nama biro penerjemah yang 95% berasal dari negeri Paman Sam.

Selain penerbit dan biro penerjemahan, perusahaan pun sering memerlukan tenaga penerjemah, khususnya perusahaan multinasional yang mempekerjakan orang asing. Selain itu, sejumlah kedutaan juga mempekerjakan tenaga penerjemah tetap maupun paruh-waktu. Perusahaan yang produknya dipasarkan di berbagai penjuru dunia sering membutuhkan penerjemah untuk menangani iklan produknya, dan biasanya ini ditangani oleh perusahaan periklanan.

Penerjemahan lisan yang dilakukan oleh para juru bahasa biasanya diperlukan oleh LSM atau organisasi nonpemerintah, pengadilan, dan panitia seminar internasional. Secara umum boleh dikatakan bahwa penerjemahan lisan memerlukan keterampilan yang melebihi penerjemahan tulis karena si penerjemah harus secara langsung menerjemahkan ucapan orang. Waktu berpikir sangat pendek sehingga kemampuan mendengar dan berpikir dalam dwibahasa benar-benar harus sangat tinggi.

Jenis penerjemahan yang mirip dengan penerjemahan lisan, yakni memerlukan kemampuan mendengar yang sangat baik, adalah penerjemahan film. Ada kalanya penerjemah tidak dibekali teks tertulis sehingga dia harus mengandalkan pendengarannya untuk menangkap pesan yang disampaikan dalam film. Dulu, saya sering mendeteksi kesalahan terjemahan di TV yang terjadi karena penerjemah salah mendengar kata Inggrisnya, misalnya breath dikelirukan dengan breeze. Pekerjaan jenis ini tentu disediakan oleh perusahaan pembuat subtitle film dan stasiun televisi.

Ajang bisnis penerjemahan di internet

Di internet terdapat sejumlah situs yang menjadi ajang bisnis bagi para penerjemah dari berbagai bahasa. Dua contoh yang dapat saya kemukakan di sini adalah Proz.com dan TranslationsCafe.com. Di kedua situs tersebut para penerjemah bisa mengiklankan diri, dan sebaliknya para pihak yang membutuhkan jasa penerjemah bisa mengiklankan pekerjaan penerjemahan. Anggota Proz.com dapat membuat akun sendiri untuk mengiklankan diri, dan kemudian bersaing dengan penerjemah lain di kala ada iklan pekerjaan penerjemahan. Biasanya mereka mengajukan penawaran ibarat sedang mengikuti lelang. Pencari jasa penerjemah kemudian menentukan siapa yang akan digunakan jasanya berdasarkan beberapa parapemeter yang mereka tentukan sendiri, misalnya pengalaman kerja dan tarif yang ditawarkan. Saya sendiri jarang sekali memanfaatkan kedua situs ini karena persaingannya sangat ketat dan menurut pengamatan saya cukup banyak penerjemah yang bersedia dibayar dengan tarif amat rendah.

Honor penerjemah

Terdapat bermacam cara untuk menghitung honor penerjemah. Penerbit buku di Indonesia pada umumnya menghitung honor penerjemah berdasarkan halaman terjemahan, yang besarnya sangat beragam, bergantung pada penerbitnya dan bahkan pada “kelas” penerjemahnya. Sejauh yang saya ketahui, honor penerjemah di penerbit Indonesia berkisar antara Rp10.000 dan Rp25.000 per halaman. Jika penerbit menggunakan tenaga penyunting lepas, biasanya honor penerjemah dihitung berdasarkan jumlah halaman terjemahan yang sudah disunting. Selain berdasarkan jumlah halaman, ada juga penerbit yang menghitung honor penerjemah berdasarkan jumlah karakter dalam hasil terjemahan.

Berbicara mengenai honor penerjemahan buku, saya pernah ditawari menjadi penyunting lepas di sebuah penerbit Indonesia dan diberi kebebasan untuk mencari penerjemah sendiri. Sayang, tawaran ini sulit diwujudkan dengan hasil memuaskan karena kebanyakan penerjemah yang baik sudah memiliki kesibukan sendiri, dan kalau pun memiliki waktu untuk menerjemahkan, mereka memilih untuk menerjemahkan bahan dari biro penerjemahan mancanegara. Mengapa? Hal ini akan saya ceritakan saat saya menyampaikan makalah pada waktunya nanti. Pokoknya, dalam cerita saya nanti akan ada beberapa kata kunci seperti rumah, sekolah, dan M!

Berbeda dengan honor penerjemahan buku, honor penerjemahan bahan nonbuku sering dihitung berdasarkan jumlah kata atau karakter dalam dokumen asal, meskipun perhitungan berdasarkan jumlah halaman juga lazim, dan biasanya lebih besar daripada honor penerjemahan buku. Setahu saya, honor untuk bahan yang sangat teknis seperti bidang kedokteran dan hukum berkisar antara Rp.50.000 dan Rp100.000 per halaman. Baru-baru ini saya pernah menerjemahkan buku untuk penerbit di Indonesia yang menghitung honor saya berdasarkan jumlah kata di buku aslinya. Rupanya buku aslinya dipindai dengan menggunakan OCR (Optical Character Recognition) sehingga penerbit bisa menghitung jumlah kata atau karakter naskah sumber tersebut.

Selain itu, ada pula pemberi kerja yang menghitung honor penerjemah berdasarkan derajat kesulitan, misalnya dari bahasa yang jarang dijumpai di Indonesia, atau sulitnya bahan yang diterjemahkan, misalnya bahan yang sangat teknis.

Tidak jarang pula honor penerjemah yang dihitung berdasarkan waktu (jumlah jam) yang digunakan untuk menerjemahkan, biasanya untuk teks yang banyak gambarnya (file dalam format PowerPoint). Namun, penghitungan berdasarkan jam ini lebih sering diterapkan untuk pekerjaan penyuntingan, meskipun banyak juga pemberi kerja yang menghitung honor penyunting berdasarkan jumlah kata atau karakter.

Yang terakhir adalah honor penerjemah subtitle film, yang biasanya dihitung berdasarkan jumlah subtitle dalam satu film. Jadi, subtitle yang hanya terdiri atas satu kata, misalnya Hello, atau dua puluh kata, honornya sama. Selain berdasarkan jumlah subtitle, honor penerjemah film juga lazim dihitung berdasarkan durasi film (jumlah menit). Jadi, baik yang diterjemahkan itu film yang banyak mengandung dialog ataupun film laga yang sedikit dialognya, honor terjemahannya sama saja jika durasinya sama.

Suka dan duka penerjemah

Seperti halnya pekerjaan lain, pekerjaan sebagai penerjemah memiliki suka dukanya sendiri. Sukanya cukup banyak, antara lain yang paling saya sukai adalah bahwa penerjemah tidak terikat oleh waktu dan ruang, artinya kita leluasa mengatur waktu kerja sendiri sesuai dengan waktu yang kita sediakan, dan pekerjaan dapat dikerjakan di mana saja, asalkan sarananya tersedia. Contohnya, Prof Kosasih Padmawinata (alm), sering menerjemahkan buku di dalam mobil sambil menunggu istri berbelanja di pasar. Sarananya cukup kertas dan pensil. Sampai akhir hayatnya, beliau masih mengandalkan tulisan tangan untuk menerjemahkan!

Keuntungan lain adalah kita tidak memiliki atasan langsung yang bisa seenaknya “memerintah” kita. Komitmen kita hanyalah kepada pemberi kerja, dan bersamanya kita mengatur jadwal kerja dan imbalan yang diinginkan. Besarnya income pun bisa kita atur sendiri. Jika kita bisa bekerja cepat (dan baik tentunya!) dan bersedia bekerja dengan jam kerja panjang, income yang diperoleh pun tentu bisa cukup besar.

Penerjemahan bahan yang beragam pun tentu semakin memperluas cakrawala pengetahuan. Melalui penerjemahan, saya berkenalan dengan dunia saham, kecanggihan mobil BMW terbaru, pedoman berperilaku di perusahaan multinasional, betapa berbahayanya bekerja di anjungan minyak lepas pantai, komplikasi yang mendebarkan yang menjadi makanan sehari-hari dokter bedah, kekayaan minyak di Norwegia dan Timur Tengah, terorisme dan cara menanggulangi korban teror dsb.

Namun, di samping suka, tentu saja ada kalanya bidang pekerjaan ini membuat bete. Semakin banyaknya orang yang bisa mengakses internet dan menaruh minat untuk mencari pekerjaan sebagai penerjemah telah semakin memperketat persaingan di bidang usaha ini. Akibatnya, perang tarif tak bisa dihindari. Padahal, persaingan tidak sehat ini sebetulnya hanya akan merugikan para penerjemah karena tarif penerjemah Indonesia mulai terbukti cenderung semakin murah. Belum lama ini sebuah biro penerjemahan raksasa di Eropa memutuskan untuk menurunkan tarif honor para penerjemah Indonesia sampai sekitar 50%! Beberapa penerjemah yang merasa “terhina” oleh keputusan sepihak tersebut memutuskan untuk mengundurkan diri dari biro tersebut, termasuk saya.

Kendala lainnya adalah perbedaan waktu antara kita sebagai penerjemah di Indonesia dan pemberi kerja di mancanegara, yang membuat komunikasi sering tertunda. Misalnya, di saat kantor di AS mulai menggeliat, kita di sini sudah akan berangkat tidur, dan sebaliknya.

Penutup

Akhirnya, karena seluruh proses pekerjaan, termasuk pembayaran honor, berlangsung tanpa bertatap muka, pemberi kerja dan penerima kerja harus saling percaya dan menghormati. Bagaimana kita tahu bahwa pemberi kerja menepati janjinya untuk membayar honor kita? Sebaliknya, bagaimana pemberi kerja yakin bahwa kita menghasilkan terjemahan yang baik, padahal dia tidak mengerti bahasa kita? Hanya profesionalisme kita masing-masinglah yang bisa dijadikan pegangan. Sebagaimana dalam profesi lain, hanya mereka yang menjaga integritas dan kualitas jasanya sajalah yang akhirnya akan mampu survive dalam bidang pekerjaan yang persaingannya semakin ketat ini.

Bandung, Juni 2006

Sofia Mansoor

ilovepeace@yahoo.com

About

In About on August 12, 2008 at 12:20 pm

It’s a blog for translating English into Indonesian and vice versa for a very reasonable price in order to communicate your messages to your targeted recipients.

Artinya…

Jika anda sedang pusing, puyeng, bingung dan merasa terbeban karena banyak teks pekerjaan maupun bahan kuliah anda yang ditulis menggunakan bahasa inggris, maka blog ini hadir untuk menjawab semua kebutuhan anda dalam hal penerjemahan khususnya dari teks bahasa inggris – indonesia ataupun sebaliknya. Kami dengan senang hati akan memberikan hasil terjemahan yang baik, layak baca, serta mudah dipahami oleh anda, sehingga pesan yang terkandung didalam wacana akan tersampaikan kepada para pembacanya dalam waktu yang relatif cepat, singkat dan dengan harga yang relatif bersaing tentunya.

Wahh panjang juga yah artinya…

Cara merintis karier sebagai penerjemah lepas (buku)

In Cara merintis karier sebagai penerjemah lepas (buku) on August 11, 2008 at 1:54 pm

Cara merintis karier sebagai penerjemah lepas (buku)

Saya cukup sering menerima email yang menanyakan cara merintis karier sebagai penerjemah lepas (freelance translator), jadi saya pikir-pikir, mungkin ada manfaatnya kalau saran yang saya berikan kepada mereka ditayangkan juga di sini. Mohon dicatat, penjelasan di bawah ini hanya berlaku untuk penerjemah lepas bagi penerbit, alias penerjemah buku. Untuk penerjemah jenis lain, silakan lihat paragraf terakhir.

Nah, langkah pertama untuk menjadi penerjemah buku adalah mengirim lamaran ke berbagai penerbit, yang terdiri atas surat lamaran, CV, dan contoh terjemahan (disertai fotokopi naskah asli yang diterjemahkan). Lamaran bisa ditulis dalam Bahasa Indonesia saja, meskipun tidak dilarang juga kalau mau pakai bahasa sumber. Tidak masalah. Sebaiknya kita memilih penerbit yang menerbitkan buku-buku yang kita minati. Jangan melamar ke penerbit buku bisnis kalau kita tertarik menerjemahkan novel, misalnya.

Dalam surat lamaran, kita menyatakan keinginan untuk bekerja sama dengan penerbit sebagai penerjemah lepas. Sebagaimana surat lamaran lainnya, sebaiknya di sini kita menceritakan hal-hal yang menunjukkan bahwa kita memang mampu menerjemahkan (pengalaman menerjemahkan, pengalaman menulis, nilai TOEFL, kuliah sastra, kursus bahasa, pernah tinggal di luar negeri, pokoknya apa pun yang bisa menunjukkan kemampuan kita).

Sebagai tambahan, kita bisa juga menyebutkan minat dan kelebihan kita sebagai penerjemah. Kemampuan berbahasa asing lebih dari satu tentunya adalah nilai plus. Kita juga sebaiknya menyebutkan jenis buku apa yang kita minati dan bidang apa saja yang kita kuasai, bahkan hobi yang kita dalami. Dengan demikian, penerbit akan memilihkan buku yang sesuai dengan kemampuan kita.

Contoh terjemahan yang disertakan seyogyanya mencerminkan bidang yang kita minati. Pilih buku yang akan menonjolkan kemampuan terjemahan kita. Contoh terjemahan ini tidak perlu banyak-banyak, 5-10 halaman terjemahan juga cukup (A4, Times New Roman 12 pt, 2 spasi). Kalau kagok, ya boleh juga diteruskan sampai 1 bab. Tapi sebenarnya dari 5-10 halaman pun, kualitas seorang penerjemah sudah dapat dinilai.

Buatlah contoh terjemahan sebaik-baiknya sebab, meskipun surat lamaran dan CV bisa memberi gambaran umum tentang potensi kita, tetap saja bukti kemampuan itu terletak pada hasil terjemahan. Keterampilan kita inilah yang dibutuhkan penerbit, bukan gelar atau nilai TOEFL. Kalau sudah pernah ke luar negeri, tetapi hasil terjemahan belepotan, ya tetap saja kita tidak akan diterima sebagai penerjemah lepas. Sebaliknya, meskipun belajar bahasa secara otodidak, misalnya, asalkan hasil terjemahannya bagus, tentunya penerbit akan dengan senang hati memberikan order kepada kita.

Satu hal yang perlu diingat, biasanya penerbit sudah memiliki jaringan penerjemahnya masing-masing, terutama penerbit besar. Kalau mereka punya naskah baru, tentunya mereka akan mengorderkan naskah tersebut kepada jaringan mereka. Kalau mereka memiliki surplus naskah, barulah mereka mencoba para penerjemah baru. Jadi ya mungkin kita harus menunggu cukup lama juga untuk mendapatkan order terjemahan.

Untuk mengatasi hal ini, ada juga kiat lain. Kita bisa saja menawarkan buku kepada penerbit. Barangkali ada buku milik kita yang menurut kita bagus dan layak diterjemahkan, atau kita cari sendiri ke Internet. Nah, contoh terjemahan yang disertakan bisa diambil sekalian dari buku ini. Selain itu, kita juga harus menyertakan evaluasi kita terhadap buku tersebut, yang menguraikan mengapa buku ini layak diterjemahkan, apa saja keunggulannya, keunikannya, mengapa buku ini penting bagi pembaca di Indonesia. Nah, kalau si penerbit tertarik, dia yang akan menguruskan copyrightnya, dan kalau urusan itu beres, secara etika, dia akan mengorderkan terjemahannya kepada kita (tentu saja kalau kualitas terjemahan kita dianggap layak).

Untuk berkarier sebagai penerjemah, kita tidak memerlukan lisensi atau sertifikasi tertentu. Kalau mau, kita boleh saja menjadi penerjemah tersumpah, dengan cara mengikuti tes yang diadakan oleh Pusat Penerjemahan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (Tlp: 021-31902112), khusus untuk yang ber-KTP Jakarta. Namun, status tersumpah ini sebenarnya lebih diperlukan untuk penerjemahan hal-hal yang berkaitan dengan hukum, untuk menjamin bahwa terjemahannya memang benar dan sesuai dengan asilnya, sehingga dokumen terjemahannya memiliki kekuatan hukum yang sama dengan teks aslinya.

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah selain mencari pekerjaan, kita juga harus mempersiapkan diri menjadi penerjemah. Selain keterampilan kita sendiri, kita juga perlu alat bantu menerjemahkan. Minimal kita harus punya KBBI, kamus Inggris-Indonesia, dan kamus Inggris-Inggris. Selain itu, bergabunglah ke milis bahtera@yahoogroups.com, forum untuk penerjemah dari dan ke Bahasa Indonesia. Internet juga merupakan sumberdaya bagus untuk meriset istilah atau konsep asing yang kita temukan dalam terjemahan kita.

Selain melamar ke penerbit, kita juga bisa mencari order terjemahan ke tempat-tempat lain, seperti perusahaan, stasiun televisi, pengadilan, dan biro penerjemahan luar negeri. Menerima order terjemahan dari biro penerjemahan luar negeri sebenarnya lebih menguntungkan, karena tarifnya bisa 10-20 kali lipat daripada tarif penerbit lokal. Kalau mau menjajaki ini, cobalah kunjungi TranslatorsCafe dan ProZ. Di situ kita bisa memajang profil kita dan mencari jobs yang ditawarkan. Di TranslatorsCafe juga ada beberapa artikel tentang meniti karier dalam bidang penerjemahan.

Prev: My blogthings
Next: Rak kamus khusus

Diunduh dari websitenya mbak femmy http://femmy.multiply.com