tukangtranslate

Cara kamus dan penggunanya

In Cara kamus dan penggunanya on August 21, 2008 at 7:27 pm

Cara Kamus dan Pengggunanya Menyikapi Perkembangan Pesat Bahasa Indonesia: pengamatan dan pengalaman pribadi

Oleh: Sofia Mansoor, disampaikan dalam Diskusi “Bahasa Slang dan Bahasa Gaul dalam Dinamika Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing”, Jakarta 4 Agustus 2005, dalam acara peluncuran kamus Indonesia-Inggris karya Alan M. Stevens dan A. Ed. Schmidgall-Tellings

Pengantar

Saya rasa semua orang sependapat bahwa Bahasa Indonesia – selanjutnya ditulis BI – berkembang amat pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Misalnya, banyak teman yang bermukim di mancanegara merasa kewalahan mengikuti perkembangan BI ini, khususnya ketika mereka membaca berbagai artikel dalam media online. Ketika kembali ke tanah air pun mereka sering mengeluhkan banyaknya kata “baru” yang tidak mereka pahami ketika membaca media cetak berbahasa Indonesia.

Salah satu profesi yang sangat berkepentingan dengan perkembangan BI yang pesat ini adalah penerjemah yang salah satu bahasanya BI. Di milis Bahtera, misalnya, yakni milis yang diperuntukkan bagi penerjemah yang salah satu bahasanya BI, jumlah posting yang masuk setiap hari mencapai 30-50 pucuk, kebanyakan menanyakan padanan kata atau istilah yang mereka jumpai dalam pekerjaan yang tengah mereka hadapi.

Salah satu topik yang mendadak naik daun di Bahtera beberapa pekan terakhir ini adalah munculnya Kamus Lengkap Indonesia-Inggris karya salah seorang Bahterawan, Alan M. Stevens, bersama rekannya A. Ed. Schmidgall-Tellings – untuk memudahkan, disebut kamus Alan dalam uraian ini – yang diluncurkan pada acara hari ini. Dipicu oleh pembicaraan mengenai kamus inilah kemudian mulai muncul diskusi tentang penggunaan sejumlah kamus lainnya.

Fungsi kamus

Pada umumnya, orang mengenal kamus sebagai buku yang berisi kumpulan kata beserta artinya, baik itu kamus ekabahasa seperti KBBI maupun kamus dwibahasa seperti kamus Alan ini. Padahal, kamus bukan hanya berisi kumpulan kata dan artinya, meskipun memang harus diakui bahwa itulah kandungan utamanya. Berikut ini dikemukakan beberapa kegunaan lain dari kamus beserta sedikit contoh dan uraiannya.

a. Mencari arti kata

Banyak penerjemah yang mencari arti kata dengan langsung membuka kamus dwibahasa, padahal, berdasarkan pengalaman, cara ini kurang ampuh. Kita perlu mengetahui bahwa kamus dwibahasa pada umumnya adalah kamus umum sehingga isinya pun kata-kata “umum.” Jika kita, misalnya, ingin mencari arti kata stem cells, kita harus mencari artinya dalam kamus ekabahasa Inggris, bahkan mungkin kamus khusus yang berisi istilah dalam bidang yang bersangkutan, dalam hal ini kamus kedokteran atau biologi.

Mencari kata dalam kamus ekabahasa akan semakin terasa manfaatnya di saat kata yang dicari artinya itu memiliki banyak arti, misalnya kata expose, yang berbeda-beda maknanya dalam bidang fotografi dan bidang kedokteran, misalnya. Makna mana yang harus diambil? Kelengkapan makna dan penjelasannya ini terdapat dalam kamus ekabahasa dalam bahasa yang bersangkutan. Konteks akan sangat berperan dalam menentukan makna mana yang paling tepat. Mencarinya dalam kamus dwibahasa sering kali menghasilkan padanan yang keliru.

b. Memeriksa ejaan

Pada saat menulis, menyunting, atau menerjemahkan, saya sering harus membuka kamus, sekadar untuk memeriksa atau memastikan ejaan yang benar. Kata yang paling sering saya periksa ejannya antara lain adalah kata miscellaneous dan privilege. Saya sering sekali salah menuliskannya. Selain itu, mungkin karena sudah lebih dari 25 tahun bergelut dengan kata, saya sering cukup jeli ketika membaca kata yang ditulis dengan ejaan yang salah, misalnya dalam kain rentang atau spanduk di jalanan. Contoh yang paling “gres” adalah kata ALUMNY yang terpampang dalam iklan di salah satu harian Bandung. Yang menyedihkan, kata itu muncul dalam iklan yang berasal dari alma mater saya!

c. Memeriksa kata baku

Banyak juga penulis atau penerjemah yang bingung mengenai ejaan kata yang baku; apakah beaya atau biaya, nasihat atau nasehat, sekedar atau sekadar, kadaluarsa atau kadaluwarsa (ternyata menurut KBBI yang baku adalah kedaluwarsa). KBBI memang bisa dijadikan rujukan untuk memeriksa kebakuan suatu kata.

d. Mencari padanan kata

Beberapa pekan yang lalu, di salah satu forum online untuk para penerjemah, Proz.com, muncul pertanyaan manakah padanan yang tepat untuk kata flicker; apakah kerlip, berkelip, atau kelap-kelip. Di sini, si penanya sudah memahami makna kata flicker ini, namun masih ragu mengenai padanannya. Sebetulnya, jika dia memiliki KBBI, misalnya, dengan mudah dia dapat memeriksanya dalam entri kelip dan kerlip, yang memberikan beberapa kata yang dapat digunakannya, yakni berkelip, kelap-kelip, dan bekerlip.

e. Mencari kepanjangan singkatan dan akronim

Mungkin belum banyak yang tahu bahwa banyak juga kamus yang memuat kepanjangan singkatan atau akronim. Dalam KBBI, misalnya, kita bisa mengetahui kepanjangan BPKPN dan Babinkumnas, dua contoh singkatan dan akronim yang sering ditanyakan dalam milis Bahtera.

f. Mencari ejaan nama negara

Dalam suatu kesempatan, saya harus “menerjemahkan” nama sejumlah negara. Sebagai rujukan, saya menggunakan KBBI, dan tertegun ketika mendapati bahwa ejaan nama salah satu negara sempalan Chekoslowakia adalah… Cheska! Tadinya saya mengira nama negara ini Ceko!

Masih ada beberapa kegunaan lain kamus, misalnya arti marka ralat, kata dan ungkapan dalam bahasa daerah dan bahasa asing, daftar kesetaraan ukuran, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Perkembangan Bahasa Indonesia

a. Kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan

Dari pekerjaan saya sehari-hari sebagai penerjemah, dan dari obrolan dengan teman-teman seprofesi, saya mendapatkan kesan bahwa kamus ekabahasa (KBBI dan sejenisnya) maupun dwibahasa (Inggris-Indonesia, misalnya), termasuk para penggunanya, terengah-engah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan bahasa percakapan (baca: bahasa gaul dan bahasa slang) yang seakan berlari sekencang Carl Lewis, sementara kamus dan para pengguna BI ibaratnya berjalan selambat keong. Berikut ini saya kemukakan beberapa contohnya.

Kata surrogate mother sudah muncul sekitar dua dasawarsa yang lalu. Apakah BI sudah memiliki padanan yang pas untuk istilah baru dalam ilmu biologi atau kebidanan ini? Apakah padanannya ibu tumpangan, karena si ibu ditumpangi janin orang lain? Ataukah lebih tepat ibu pinjaman, karena rahimnya dipinjam untuk menumbuhkan janin hasil pembuahan telur wanita lain? Sampai sekarang masih belum ada satu kata yang digunakan secara “umum” oleh para penerjemah, dan setahu saya juga belum ada dalam kamus istilah kedokteran atau biologi.

Istilah lain yang mungkin perlu kita pertimbangkan kembali adalah istilah ibu kandung. Siapakah yang dinamakan ibu kandung di zaman sekarang ini? Apakah dia surrogate mother, ataukah biological mother?

Sementara itu, kata atau istilah baru yang terus bermunculan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan ternyata ada juga yang sudah muncul dalam KBBI maupun kamus istilah yang diterbitkan Pusat Bahasa. Contohnya antara lain kata pindai sebagai padanan kata scan; kata pajan, papar, dan dedah yang bersaing untuk dipadankan dengan kata expose. Kata payar yang sering digunakan oleh kalangan dokter adalah tawaran lainnya untuk kata scan, dan ini belum tercantum dalam KBBI.

Kata seperti spreadsheet, web hosting, online, upgrade, bahkan install dan uninstall di bidang komputer masih terus dicari padanannya yang “pas.”

b. Perkembangan bahasa gaul

Di Bahtera cukup banyak anggota yang menanyakan istilah yang sering didengarnya dalam sinetron remaja, yang sedang marak belakangan ini, atau yang dibacanya dalam majalah remaja. Jawaban yang datang pada umumnya berasal dari Bahterawan (sebutan untuk anggota milis ini) berusia “muda.” Bergaul dengan anak-anak muda ternyata dapat “memperkaya” kosakata.

Bagaimana kamus, misalnya KBBI, menyikapi perkembangan bahasa gaul ini? Kamus Alan memuat kata seperti nyokap, bokap, pembokat, mokal, gebetan, ember, dan tajir, sementara endang bambang, misalnya, yang baru muncul belum lama ini, belum ada. Tapi, semua kata ini ternyata tidak ada dalam KBBI, sementara kata seperti belik, belingut, cabir, dakaik tercantum, padahal boleh dikatakan tak seorang pun pengguna BI sekarang ini tahu apa artinya!

Sikap pengguna

Dari pengamatan selama sekitar 20an tahun bergaul dengan penulis, penyunting, dan penerjemah, saya menyaksikan sikap pengguna yang berlain-lainan dalam menyikapi perkembangan BI ini; ada yang sangat ekstrem dan teguh memegang pendapatnya, namun banyak juga yang bersikap “moderat,” bahkan ada yang menelan mentah-mentah pendapat orang lain.

a. Menggali kekayaan kosakata sendiri

Ketika membaca tulisan berbahasa Indonesia, sering saya menemukan kata yang tidak saya pahami artinya. Langkah pertama yang saya ambil biasanya membuka KBBI. Jika tidak tercantum dalam KBBI, barulah saya bertanya kepada penulisnya (kalau kenal dan mudah menghubunginya). Misalnya, dalam tulisan Bondan Winarno beberapa waktu yang lalu, saya menemukan kata gagrak arsitektur. Setelah ditanyakan ke penulisnya, ternyata gagrak adalah kata yang digali sendiri oleh si penulis untuk padanan genre. Konon kata ini berasal dari kosakata Jawa.

b. Mencipta atau merekayasa kata atau istilah baru

Sejumlah orang, biasanya ilmuwan atau penerjemah, sering memerlukan istilah untuk konsep tertentu. Contohnya, istilah nirkabel dan nirlaba yang memanfaatkan bubuhan “nir” yang menyatakan bentuk terikat bukan atau tidak. Ada juga yang mencoba memasarkan suratron (akronim dari surat elektronik) untuk padanan email, inderaja yang digunakan kalangan geologi dan geodesi untuk padanan remote sensing.

Memang, diperlukan waktu agar suatu istilah diterima dan digunakan oleh masyarakat. Bantuan penyebaran melalui media massa, majalah, buku terjemahan – dan sekarang Bahtera! – akan dapat mempercepat penerimaan (atau penolakan!) istilah yang dipasarkan itu. Contoh yang masih hangat adalah pemasaran istilah milis untuk mailing list yang tampaknya sudah diterima secara luas. Istilah perangkat lunak dan perangkat keras untuk software dan hardware, meskipun panjang, juga cukup cepat diterima pengguna, tapi istilah shareware masih mencari-cari padanan yang “pas.”

Berbagai kata dan istilah baru ini muncul dalam kamus, khususnya kamus istilah bidang yang bersangkutan. Namun, dalam KBBI pun, yang tergolong kamus umum, sudah tercantum entri perangkat dengan kata turunannya perangkat lunak dan perangkat keras, sebagaimana halnya sejumlah kata yang diawali dengan bubuhan nir seperti nirselera, nirwarta, nirguna. Jika kita membuka kamus Alan, ternyata kata-kata ini juga ada!

Menurut pengamatan saya, istilah atau kata bentukan “baru” seperti itu akan lebih mudah diterima pengguna jika mereka mudah menebak artinya. Misalnya kata-kata yang berawal dengan bubuhan nir ini cukup pesat pertumbuhannya. Saya pernah melihat seorang penjual semangka di tepi jalan yang mengiklankan jualannya sebagai “semangka nirbiji”!

c. Menyerap berdasarkan atau dengan mengabaikan pedoman EYD

Kita ketahui bahwa Pusat Bahasa sudah menerbitkan dan menyebarluaskan buku kecil Pedoman EYD dan Pedoman Pembentukan Istilah, namun tampaknya masyarakat pengguna masih belum paham sepenuhnya di saat mereka berhadapan dengan kata yang ingin diserapnya. Misalnya, bagaimana menyerap kata psychology? Saya amati kata ini cukup banyak ragam ejaannya – psykologi, psikology, psykology – padahal berdasarkan pedoman penyerapan kata asing, kata ini seharusnya diserap menjadi psikologi.

Memang, Pusat Bahasa menetapkan aturan bahwa BI menyerap kata asing sedekat mungkin dengan ejaan atau cara penulisannya dalam bahasa asalnya. Ini berbeda dengan kaidah penyerapan kata dalam Bahasa Melayu yang berpedoman pada lafal. Karena itulah terdapat perbedaan dalam kedua bahasa serumpun itu untuk sejumlah kata yang bermakna sama. Contohnya: pipe, pipa, paip; television, televisi, televisyen; agent, agen, ejen; taxi, taksi, teksi.

Kesulitan muncul ketika pengguna BI berhadapan dengan kata asing yang rumit ejaannya, misalnya spreadsheet, email, file, online, download. Bagaimana menyerap berbagai istilah ini jika kita berpedoman pada ejaannya? Ada sejumlah orang yang menyerapnya dengan tidak semena-mena menjadi spredsit, imil, fail, onlain, donlod. Saya sendiri sangat risi membaca kata serapan seperti ini! Bagi saya pribadi, jika belum menemukan padanan yang “pas,” lebih baik meminjamnya saja! Syukur alhamdulillah KBBI tidak memuat kata serapan macam ini. Atau apakah saya yang kurang jeli menyelisiknya?

Dengan kaidah penyerapan yang berpedoman pada ejaan ini, banyak kata asing (baca: Inggris) yang dengan mudah diserap dengan beranalogi pada kata lain. Contohnya adalah kata prediksi, eksibisi, edukasi. Masalahnya, apakah kita rela jika KBBI dipenuhi oleh kata-kata seperti ini? Bukankah dengan mudah kita bisa memadankannya dengan kata milik sendiri, yakni ramalan, pameran, dan pendidikan? Saya rasa, masalahnya di sini terletak pada kebanggaan atau ketidakbanggaan kita menggunakan kata sendiri.

Sikap penyusun dan penerbit kamus

Menyikapi perkembangan dan pertumbuhan kata dan istilah baru yang demikian pesat, tidak pelak lagi, penerbit dan penyusun kamus pastilah kewalahan. Apakah mereka perlu memasukkan semua kata baru itu dalam kamus terbitannya? Setebal apa kamusnya? Dan bagaimana menentukan harga jualnya?

Jika kamus itu berbentuk elektronik, mungkin pelaksanaan teknisnya tidak terlalu sulit. Bentuk cakram padat tampaknya bisa dijadikan pilihan. Namun, cakram padat amat mudah digandakan dengan biaya yang sangat rendah sehingga hantu pembajakan tentulah sangat mengerikan, baik bagi penerbit maupun penyusun kamus. Saya sendiri bukan penerbit sehingga tentulah tidak terlalu memikirkan hal ini. Bagi saya sebagai pengguna, semakin lengkap sebuah kamus, dan semakin mudah menggunakannya, tentu itulah yang dicari.

Cara lain adalah dengan menerbitkan kamus khusus, misalnya kamus istilah bidang tertentu, seperti yang sudah dilaksanakan Pusat Bahasa. Namun, berdasarkan pengamatan sekilas, kamus istilah yang banyak beredar dewasa ini sebetulnya lebih tepat dinamakan glosari karena isinya berupa penjelasan kata yang dijadikan entri, bukan padanan kata, padahal yang diperlukan pengguna, khususnya penerjemah, biasanya padanan kata suatu istilah asing. Perlu disayangkan pula bahwa berbagai kamus istilah yang diterbitkan Pusat Bahasa amat sulit dicari di toko buku, padahal peminatnya pastilah membludak (ada dalam kamus Alan!)

Cara lain lagi adalah dengan menerbitkan kamus praktis, yang hanya memuat kata-kata yang sering digunakan. Katakanlah kamus yang berisi lima puluh ribu atau seratus ribu kata yang paling sering muncul di media massa. Kata stem cells dan clone, yang meskipun merupakan istilah ilmiah, tapi sering muncul di media massa. Menurut saya, kata semacam ini sepatutnya muncul juga dalam kamus umum semacam KBBI agar para pembaca media bisa mencari artinya di situ, tanpa harus membuka kamus istilah.

Kamus jenis mana pun yang disusun dan diterbitkan, pastilah akan disambut gembira oleh para penggunanya, khususnya para penerjemah. Bahkan di milis Bahtera telah berulang kali dimunculkan perlunya tesaurus BI. Rupanya berbagai kamus yang beredar saat ini masih belum memenuhi kebutuhan mereka.

Penutup

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa para pengguna kamus di lapangan (baca: penerjemah khususnya, serta penulis dan penyunting pada umumnya) masih belum banyak terbantu oleh keberadaan berbagai kamus yang beredar sekarang ini. Berbagai konsep baru yang terus bermunculan dalam berbagai bidang ilmu masih belum ada padanannya dalam berbagai kamus istilah, baik yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa maupun penerbit lain. Hal ini tampak dari jenis pertanyaan yang terus bermunculan di milis Bahtera dan forum penerjemah semacam Proz.com, yang menunjukkan bahwa sering sekali masalah yang dihadapi para penerjemah ini tidak terpecahkan oleh kamus. Seperti yang saya kemukakan di atas, kamus istilah yang banyak beredar pada umumnya lebih cenderung menerangkan istilah atau konsep dalam bahasa asing, bukan menawarkan padanan dalam bahasa Indonesia.

Apalagi dengan semakin pendeknya jarak antartempat di dunia ini serta semakin eratnya komunikasi di antara para pengguna bahasa berkat adanya internet, semakin besar pula peranan para penerjemah dalam menyediakan dokumen dalam bahasa setempat. Perkembangan kosakata asing yang demikian pesat yang harus dihadapi para penerjemah haruslah disikapi dengan bijak, baik oleh para penerjemah itu sendiri, dan terutama oleh para penyusun dan penerbit kamus. Sikap mana yang hendak diambil, menggali dari kekayaan bahasa sendiri yang selama ini terpendam dalam KBBI, sementara pengguna berteriak-teriak betapa miskinnya bahasa Indonesia? Atau menciptakan padanan sendiri, lalu menawarkannya kepada masyarakat, dan ditampung dalam kamus? Atau sekadar menyerap dan memperkaya KBBI dan kamus sejenis dengan kata serapan yang kadang “menggelikan” ejaannya?

Kegiatan penerjemahan memang tidak bisa dilepaskan dari peranan kamus sebagai salah satu alat bantu penerjemah. Karena itulah, upaya Alan M. Stevens bersama rekannya A. Ed. Schmidgall-Tellings yang berusaha merangkul perkembangan bahasa yang hidup dalam masyarakat patut diacungi jempol. Mana ada kamus dwibahasa yang salah satu bahasanya memuat “awalan” dan “akhiran” yang hidup dalam masyarakat, padahal “menyalahi” tatabahasa? Coba lihat, dengan jelinya kamus Alan memuat bentuk-bentuk yang tidak baku, namun sering digunakan oleh masyarakat, seperti awalan ng– dan kombinasinya dengan akhiran –in (ngadak-ngadak, ngapain) dan nge– (ngebul, ngebut, ngegongin). Kumpulan bentuk yang tidak baku ini terdapat dalam tabel di bagian awal kamus, yang mengupas cara menggunakan kamus tersebut.

Jelaslah bahwa kamus ini disusun dengan berkiblat pada kebutuhan penggunanya. Pengakuan Alan bahwa dia mendapatkan banyak masukan dari anggota milis Bahtera menunjukkan betapa Alan sangat memperhatikan para pengguna ini. Suatu sikap yang amat bijak! Dengan sikap seperti ini, kamus Alan pastilah akan semakin memperkaya khazanah perkamusan kita, dan sangat membantu para penggunanya, khususnya para pengguna BI yang bukan penutur asli, selain juga para penutur asli BI yang menulis dalam bahasa Inggris.

Terima kasih pula perlu ditujukan kepada Mizan yang telah menyediakan kamus ini bagi para penggunanya di Indonesia, yang sekarang tidak usah jauh-jauh memesan lewat amazon.com dan membayar dalam USD. Apalagi harga jualnya di Indonesia sangat memperhatikan daya beli penggunanya!

Bandung, 2 Agustus 2005

Sofia Mansoor

sofia@melsa.net.id

http://sofiamansoor.com

  1. URL ke Kamus Besar Bahasa Indonesia: http://kbbi.info/

  2. terima kasih atas tautannya ke KBBI 😀

Leave a comment